MAKALAH
KEBUDAYAAN SUKU BADUY
SUKU ASLI BANTEN
KEBUDAYAAN SUKU BADUY
SUKU ASLI BANTEN
NAMA : REGIE SYAHRUL FALAH
KELAS : 1KA08
NPM : 15115721
KELAS : 1KA08
NPM : 15115721
Latar
Belakang
Banten
pada masa lalu merupakan sebuah daerah dengan kota pelabuhan yang sangat ramai,
serta dengan masyarakat yang terbuka dan makmur. Banten pada abad ke 5
merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara. Salah satu prasasti
peninggalan Kerajaan Tarumanagara adalah Prasasti Cidanghiyangatau
prasasti Lebak, yang ditemukan di kampung lebak di tepi Ci Danghiyang, Kecamatan Munjul,
Pandeglang, Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2 baris
kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa
Sanskerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian rajaPurnawarman.
Setelah runtuhnya kerajaan Tarumanagara (menurut beberapa sejarawan
ini akibat serangan kerajaan Sriwijaya), kekuasaan di bagian baratPulau
Jawa dari Ujung Kulon sampai Ci Serayu dan Kali
Brebes dilanjutkan oleh Kerajaan Sunda. Seperti dinyatakan
oleh Tome Pires, penjelajah Portugis pada tahun 1513, Banten
menjadi salah satu pelabuhan penting dari Kerajaan Sunda. Menurut sumber
Portugis tersebut, Banten adalah salah satu pelabuhan kerajaan itu selain
pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Kalapa, dan Ciman
Ketika sudah
menjadi pusat Kesultanan Banten, sebagaimana dilaporkan oleh J. de Barros,
Banten merupakan pelabuhan besar di Asia Tenggara, sejajar
dengan Malaka dan Makassar. Kota Banten terletak di pertengahan
pesisir sebuah teluk, yang lebarnya sampai tiga mil. Pada awal abad ke-17
Masehi, Banten merupakan salah satu pusat perniagaan penting dalam jalur
perniagaan internasional di Asia. Tata administrasi modern pemerintahan dan
kepelabuhan sangat menunjang bagi tumbuhnya perekonmian masyarakat. Daerah
kekuasaannya mencakup juga wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Ketika orang Belanda tiba di Banten untuk pertama kalinya, orang
Portugis telah lama masuk ke Banten. Kemudian orang Inggris mendirikan loji di
Banten dan disusul oleh orang Belanda.
Provinsi Banten
awalnya adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat, namum dipisahkan pada
tahun 2000 dengan keputusan Undang-Undang nomor 23 tahun 2000. Provinsi Banten sangat kental akan
kebudayaan dan keseniannya, mulai dari seni pencaksilat seperti Debus. Seni
tarian seperti tari Cokek dan tari Dzikir Saman. Seni musik seperti Rudat dan
Dog-dog Lojor maupun seni pertunjukan seperti Ubrug. Dan di Provinsi Banten terdapat
suku baduy yang masih menjaga tradisi, cara berpakaian, pola hidup dan lainnya.
Perkampungan masyarakat baduy terletak didaerah aliran sungai ciujung,
pegunungan kendeng. Daerah tersebut dikenal sebagai wilayah titipan dari nenek
moyang yang tidak boleh dirusak. Pada kali ini kita
akan membahas tentang suku Baduy yang sangat kental akan kebudayaannya.
Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini antara lain :
1.
Memberikan wawasan
lebih tentang kebudayaan suku Baduy kepada para pembaca.
2.
Agar para pembaca
dapat mengambil ilmu yang disampaikan dalam makalah ini.
PENDAHULUAN
Suku baduy merupakan salah satu suku asli Banten dengan jumlah penduduk suku baduy sekitar 5000-8000 orang. Lokasi suku baduy berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kenkes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat luar dan berawal dari sebutan para peneliti. Peneliti menyamakan mereka dengan kelompok masyarakat yang berpindah atau nomaden. Pada sejarah “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan banten, ketika itu masyarakat asli Banten enggan menerima ajaran islam mereka menolak dan diasingkan ke daerah pedalaman.
Namun orang suku baduy lebih senang dengan sbeutan lain untuk mereka yaitu “urang kenakes” atau dalam artinya orang kenakes berdasarkan asal daerah mereka yang tinggal di Kenakes.
Suku baduy merupakan salah satu suku asli Banten dengan jumlah penduduk suku baduy sekitar 5000-8000 orang. Lokasi suku baduy berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kenkes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat luar dan berawal dari sebutan para peneliti. Peneliti menyamakan mereka dengan kelompok masyarakat yang berpindah atau nomaden. Pada sejarah “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan banten, ketika itu masyarakat asli Banten enggan menerima ajaran islam mereka menolak dan diasingkan ke daerah pedalaman.
Namun orang suku baduy lebih senang dengan sbeutan lain untuk mereka yaitu “urang kenakes” atau dalam artinya orang kenakes berdasarkan asal daerah mereka yang tinggal di Kenakes.
SEJARAH SUKU BADUY
Sejarah suku baduy menurut para ahli berdasarkan pada penemuan prasati sejarah kemudian ditelusuri melalui catatan para pelaut Portugis dan Tiongkok dan dihubungkan dengan cerita rakyat sunda.
Menurut para ahli sejarah masyarakat baduy memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajara. Pada saat itu Pangeran Pucuk dari Kerajaan Pajajaran memerintahkan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng. Lalu para prajurit bermukim dan bertugas disana. Dengan kesimpulan bahwa sejarah suku baduy berasal dari pasukan yang diutus oleh Pangeran Pucuk dan menutup identitas mereka terhadap masyarakat luar agar tidak diketahui oleh musuh-musuh dari Kerajaan Pajajaran.
Sejarah suku baduy versi dr. Van Tricht yang berkunjung ke baduy pada tahun 1982 dan megadakan penelitian kesehatan disana berpendapat bahwa masyarakat suku baduy sudah ada sejak lama dan merupakan masyarakat asli wilayah tersebut. Dan dahulunya terdapat Raja yang berkuasa di wilayah tersebut. Bernama Rakeyan Daramasiska untuk memerintyahkan masyarakat baduy untuk tinggal didaerah tersebut dengan tujuan memlihara kebuyutan (ajaran nenek moyang) dan menjadikan kawasan tersebut suci atau mandala. Dan sampai sekarang masyarakat baduy masiyh memegang teguh kepercayaan tersebut.
Sejarah suku baduy menurut para ahli berdasarkan pada penemuan prasati sejarah kemudian ditelusuri melalui catatan para pelaut Portugis dan Tiongkok dan dihubungkan dengan cerita rakyat sunda.
Menurut para ahli sejarah masyarakat baduy memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajara. Pada saat itu Pangeran Pucuk dari Kerajaan Pajajaran memerintahkan prajurit pilihan untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng. Lalu para prajurit bermukim dan bertugas disana. Dengan kesimpulan bahwa sejarah suku baduy berasal dari pasukan yang diutus oleh Pangeran Pucuk dan menutup identitas mereka terhadap masyarakat luar agar tidak diketahui oleh musuh-musuh dari Kerajaan Pajajaran.
Sejarah suku baduy versi dr. Van Tricht yang berkunjung ke baduy pada tahun 1982 dan megadakan penelitian kesehatan disana berpendapat bahwa masyarakat suku baduy sudah ada sejak lama dan merupakan masyarakat asli wilayah tersebut. Dan dahulunya terdapat Raja yang berkuasa di wilayah tersebut. Bernama Rakeyan Daramasiska untuk memerintyahkan masyarakat baduy untuk tinggal didaerah tersebut dengan tujuan memlihara kebuyutan (ajaran nenek moyang) dan menjadikan kawasan tersebut suci atau mandala. Dan sampai sekarang masyarakat baduy masiyh memegang teguh kepercayaan tersebut.
BAHASA SUKU BADUY
Suku baduy menggunakan bahasa dialek sunda-banten untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Masyarakat suku baduy menegerti bahasa indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah sehingga mereka tidak menegenal budaya tulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras. Menurut mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.
Suku baduy menggunakan bahasa dialek sunda-banten untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. Masyarakat suku baduy menegerti bahasa indonesia walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Karena masyarakat baduy tidak mengenal sekolah sehingga mereka tidak menegenal budaya tulis. Usaha pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah di wilayah tersebut ditolak keras. Menurut mereka pendidikan sanagat berlawanan dengan adat istiadat mereka.
KEPERCAYAAN SUKU BADUY
Kepercayaan suku baduy adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama Budha dan Hindu. Kepercayaan tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh” atau adat mtlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada perubahan apa pun “ : Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Dalam konsep pikukuh tersebut diterapkan oleh suku baduy pada bidang pertanian dengan tidak mengubah bentuk kontur ladang. Dan tidak mengolah lahan dengan cara dibajak atau di terasering. Masyarakat baduy hanya menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur pembangunan rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga banyak rumah suku baduy yang tidak sama panjang.
Objek kepercayaan masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca domas. Lokasi tersebut sangat rahasia dan sakral. Mereka mengunjungi rumah tersebut pada bulan kelima setiap satu tahun sekali untuk melakukan pemujaan yang diketuai oleh ketua adat. Ditempat tersebut terdapat batu lumpang yang menyipan air hujan. Bila batu lumpang tersebut berisi banyak air akan menandakan panen akan lancar dan berhasil dengan baik. Dan bila batu lumpang tersebut kering merupakan tanda bahwa panen akan gagal.
Kepercayaan suku baduy adalah sunda wiwitan yang berakar dari pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang dipengaruhi juga oleh agama Budha dan Hindu. Kepercayaan tersebut ditujukkan dengan adanya “pikukuh” atau adat mtlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari. Isi terpenting dari “pikukuh” yaitu konsep “tanpa ada perubahan apa pun “ : Lojor henteu beunang dipotong, pendek henteu beunang disambung (panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung). Dalam konsep pikukuh tersebut diterapkan oleh suku baduy pada bidang pertanian dengan tidak mengubah bentuk kontur ladang. Dan tidak mengolah lahan dengan cara dibajak atau di terasering. Masyarakat baduy hanya menanam tugal atau bvambu yang diruncingkan. Pada kontur pembangunan rumah permukaan tanah dibiarkan tidak merata apa adanya sehingga banyak rumah suku baduy yang tidak sama panjang.
Objek kepercayaan masyarakat suku baduy yang terpenting adalah arca domas. Lokasi tersebut sangat rahasia dan sakral. Mereka mengunjungi rumah tersebut pada bulan kelima setiap satu tahun sekali untuk melakukan pemujaan yang diketuai oleh ketua adat. Ditempat tersebut terdapat batu lumpang yang menyipan air hujan. Bila batu lumpang tersebut berisi banyak air akan menandakan panen akan lancar dan berhasil dengan baik. Dan bila batu lumpang tersebut kering merupakan tanda bahwa panen akan gagal.
Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy
Menurut keterangan
Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa di lingkungan
masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota
masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi
hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang
ada yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya
dalam suatu negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai
bidang tersendiri yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang
terkena hukuman. Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri
atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh
Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran
ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran
berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro
setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum
juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan
adat selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah
dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga
Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar
dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
Rutannya Orang Baduy, atau lebih tepat disebut tahanan adat,
sangat jelas berbeda dengan yang dikenal masyarakat umum di luar Baduy. Rumah
Tahanan Adat Baduy bukanlah jeruji besi yang biasa digunakan untuk mengurung
narapidana di kota-kota, melainkan berupa sebuah rumah Baduy biasa dan ada yang
mengurus/menjaganya. Selama 40 hari sipelaku bukan dikurung atau tidak
melakukan kegiatan sama sekali. Ia tetap melakukan kegiatan dan aktivitas
seperti sehari-harinya, hanya saja tetap dijaga sambil diberi nasehat,
pelajaran adat, dan bimbingan. Uniknya, yang namanya hukuman berat disini
adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun
sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota, sebagaimana kita
berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat yang harus
diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali,
paling hanya cekcok mulut saja.
PEMBAGIAN MASYARAKAT BADUY
Masyarakat suku baduy terbagi dalam dua kelompok yaitu suku baduy luar dan suku baduy dalam. Kelompok terbesar disebut dengan baduy luar atau urang penamping yang tinggal disebelah utara Kenakes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal didaerah cikadu, kaduketuk, kadukolot, gajeboh dan cisagu yang mengelilingi baduy dalam. Masyarakat baduy luar berciri kghas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam dan sudah dapat berbaur dengan masyarakat sunda lainnya. Ciri-ciri lain dari masyarakat suku baduy luar antara lain:
• Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
• Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
• Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
• Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa golok. Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp dan TV.
Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
Masyarakat suku baduy terbagi dalam dua kelompok yaitu suku baduy luar dan suku baduy dalam. Kelompok terbesar disebut dengan baduy luar atau urang penamping yang tinggal disebelah utara Kenakes. Mereka berjumlah sekitar 7 ribuan yang menempati 28 kampung dan 8 anak kampung. Mereka tinggal didaerah cikadu, kaduketuk, kadukolot, gajeboh dan cisagu yang mengelilingi baduy dalam. Masyarakat baduy luar berciri kghas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam dan sudah dapat berbaur dengan masyarakat sunda lainnya. Ciri-ciri lain dari masyarakat suku baduy luar antara lain:
• Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
• Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
• Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
• Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
Sementara di bagian selatannya dihuni masyarakat Baduy Dalam atau Urang Dangka. Diperkirakan mereka berjumlah 800an orang yang tersebar di Kampung Cikeusik, Cibeo dan Cikartawana. Kelompok tangtu (baduy dalam). Suku Baduy Dalam tinggal di pedalaman hutan dan masih terisolir dan belum masuk kebudayaan luar. Memiliki kepala adat yang membuat peraturan-peraturan yang harus dipatuhi biasa disebut Pu’un. Orang Baduy dalam tinggal di 3 kampung,yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik.
Kelompok Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kedua kelompok ini memang memiliki ciri yang beda. Bila Baduy Dalam menyebut Baduy Luar dengan sebutan Urang Kaluaran, sebaliknya Badui Luar menyebut Badui Dalam dengan panggilan Urang Girang atau Urang Kejeroan. Ciri lainnya, pakaian yang biasa dikenakan Baduy Dalam lebih didominasi berwarna putih-putih.
Suku baduy dalam belum mengenal budaya luar dan terletak di hutan pedalaman. Karena belum mengenal kebudayaan luar, suku baduy dalam masih memiliki budaya yang sangat asli. Suku baduy dalam tidak mengizinkan orang luar tinggal bersama mereka. Bahkan mereka menolak Warga Negara Asing (WNA) untuk masuk.
Suku baduy dalam di kenal sangat taat mempertahankan adat istiadat dan warisan nenek moyangnya. Mereka memakai pakaian yang berwarna putih dengan ikat kepala putih serta membawa golok. Pakaian suku baduy dalam pun tidak berkancing atau kerah. Uniknya, semua yang di pakai suku baduy dalam adalah hasil produksi mereka sendiri. Biasanya para perempuan yang bertugas membuatnya. Suku baduy dalam di larang memakai pakaian modern. Selain itu, setiap kali bepergian, mereka tidak memakai kendaraan bahkan tidak pakai alas kaki dan terdiri dari kelompok kecil berjumlah 3-5 orang. Mereka dilarang menggunakan perangkat tekhnologi, seperti Hp dan TV.
Masyarakat Baduy sangat taat pada pimpinan yang tertinggi yang disebut Puun. Puun ini bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan kehidupan masyarakat yang menganut ajaran Sunda Wiwitan peninggalan nenek moyangnya. Setiap kampung di Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yang tidak boleh meninggalkan kampungnya. Pucuk pimpinan adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo dan Puun Kiteu di Cikartawana. Sedangkan wakilnya pimpinan adat ini disebut Jaro Tangtu yang berfungsi sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintah daerah atau pemerintah pusat. Di Baduy Luar sendiri mengenal sistem pemerintahan kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah yang dibantu Jaro Tanggungan, Tanggungan dan Baris Kokolot.
Pernikahan Suku Baduy
Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat
Baduy hampir serupa dengan masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan
menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan
kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan
kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap
Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan
membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain
membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin
yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan
alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak
perempuan.
Pelaksanaan akad nikah
dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un untuk
mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak
mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah
kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal. Jika setiap manusia
melaksanakan hal tersebut.
Pakaian Suku
Baduy
Untuk Baduy Dalam,
para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang,serba
putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih karena cara memakainya hanya
disangsangkan atau dilekatkan di badan. Desain baju sangsang hanya
dilubangi/dicoak pada bagian leher sampai bagian dada saja. Potongannya tidak
memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana
mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan
tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang
kapas asli yang ditenun.Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung
warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang. Agar kuat dan
tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Untuk kelengkapan pada
bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat kepala
ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan
selendang atau hasduk Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba
putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy
Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat
kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah
dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan
potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak
diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg
ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam. Terlihat dari
warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka
sudah terpengaruh oleh budaya luar. busana bagi kalangan pria Baduy adalah amat
penting. Bagi masyarakat Baduy Dalam maupun Luar biasanya jika hendak bepergian
selalu membawa senjata berupa golok yang diselipkan di balik pinggangnya serta
dilengkapi dengan membawa tas kain atau tas koja yang dicangklek (disandang) di
pundaknya.
Sedangkan, untuk
busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam maupun Baduy Luar tidak
terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Model, potongan dan warna pakaian,
kecuali baju adalah sama. Mereka mengenakan busana semacam sarung warna biru
kehitam-hitaman dari tumit sampai dada. Busana seperti ini biasanya dikenakan
untuk pakaian sehari-hari di rumah. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya
membiarkan dadanya terbuka secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya
harus tertutup. Untuk pakaian bepergian, biasanya wanita Baduy memakai kebaya,
kain tenunan sarung berwarna biru kehitam-hitaman, karembong, kain ikat
pinggang dan selendang. Warna baju untuk Baduy Dalam adalah putih dan bahan
dasarnya dibuat dari benang kapas yang ditenun sendiri.
Untuk memenuhi
kebutuhan pakaiannya, masyarakat suku Baduy menenun sendiri yang dikerjakan
oleh kaum wanita. Dimulai dari menanam biji kapas, kemudian dipanen, dipintal,
ditenun sampai dicelup menurut motifnya khasnya. Penggunaan warna pakaian untuk
keperluan busana hanya menggunakan warna hitam, biru tua dan putih. Kain sarung
atau kain wanita hampir sama coraknya, yaitu dasar hitam dengan garis-garis
putih, sedangkan selendang berwana putih, biru, yang dipadukan dengan warna
merah. Semua hasil tenunan tersebut umumnya tidak dijual tetapi dipakai
sendiri. Bertenun biasanya dilakukan oleh wanita pada saat setelah panen. Jenis
busana yang dikerjakan antara lain, baju, kain sarung, kain wanita, selendang
dan ikat kepala. Selain itu, ada kerajinan yang dilakukan oleh kalangan pria di
antaranya
adalah membuat
golok dan tas koja, yang terbuat dari kulit pohon teureup ataupun benang yang
dicelup.
MATA PENCHARIAN SUKU BADUY
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Kepercayaan yang dianut masyarakat Kanekes adalah Sunda Wiwitan.didalam baduy dalam, Ada semacam ketentuan tidak tertulis bahwa ras keturunan Mongoloid, Negroid dan Kaukasoid tidak boleh masuk ke wilayah Baduy Dalam. Jika semua ketentuan adat ini di langgar maka akan kena getahnya yang disebut kuwalat atau pamali adalah suku Baduy sendiri.
Prinsip kearifan yang dipatuhi secara turun temurun oleh masyarakat Baduy ini membuat mereka tampil sebagai sebuah masyarakat yang mandiri, baik secara sosial maupun secara ekonomi. Karena itu, ketika badai krisis keuangan global melanda dunia, dan merontokkan pertahanan ekonomi kita di awal tahun milennium ini, suku Baduy terbebas dari kesulitan itu. Hal itu berkat kemandirian mereka yang diterapkan dalam prinsip hidup sehari-hari.
Orang Baduy tak saja mandiri dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Mereka tak membeli beras, tapi menanam sendiri. Mereka tak membeli baju, tapi menenun kain sendiri.. Kayu sebagai bahan pembuat rumah pun mereka tebang di hutan mereka, yang keutuhan dan kelestariannya tetap terjaga. “Dari 5.136,8 hektar kawasan hutan di Baduy, sekitar 3.000 hektar hutan dipertahankan untuk menjaga 120 titik mata air”, kata Jaro Dainah, kepala pemerintahan (jaro pamarentah) suku Baduy.
Kemandirian mereka dari hasrat mengonsumsi sebagaimana layaknya orang kota, antara lain tampak pada beberapa hal lainnya. Untuk penerangan, mereka tak menggunakan listrik. Dalam bercocok tanam, mereka tak menggunakan pupuk buatan pabrik. Mereka juga membangun dan memenuhi sendiri kebutuhan untuk pembangunan insfrasuktur seperti jalan desa, lumbung padi, dan sebagainya.
INTERAKSI DENGAN MASYARAKAT LUAR
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini
ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil,
ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya
Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah
kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda
kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin
melaksanakan Seba (halaman belum tersedia) ke Kesultanan Banten (Garna, 1993).
Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali,
berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur
Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di
bidang pertanian, penduduk Kanekes Luar berinteraksi erat dengan masyarakat
luar, misalnya dalam sewa-menyewa tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara Barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang Rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para Tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Perdagangan yang pada waktu yang lampau dilakukan secara Barter, sekarang ini telah mempergunakan mata uang Rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para Tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
PENUTUP
Kesimpulan
Suku baduy merupakan suku asli ditanah sunda yang berlokasi didaerah Banten. Suku baduy masih menjaga tradisi mereka dan menjaga amanat dari nenek moyang mereka untuk selalu menjaga alam.
Mereka sudah tidak lagi nomaden atau berpindah seperti yang dikatakan oleh para ahli sejarah. Mereka sudah menetap dan bercocok tanam bahkan masyarakat baduy luar tidak lagi menutup diri, mereka sudah dapat berbaur dengan masyarakat luar.
Suku baduy merupakan bagian dari suku bangsa di Indonesia yang menjadi bukti bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya yang harus dibanggakan dan menghargai keberadaaan mereka karena bagaimanapun juga mereka adalah warga negara Indonesia yang masih memegang teguh kepercayaan kabuyutan atau amanat dari nenek moyang.
Kesimpulan
Suku baduy merupakan suku asli ditanah sunda yang berlokasi didaerah Banten. Suku baduy masih menjaga tradisi mereka dan menjaga amanat dari nenek moyang mereka untuk selalu menjaga alam.
Mereka sudah tidak lagi nomaden atau berpindah seperti yang dikatakan oleh para ahli sejarah. Mereka sudah menetap dan bercocok tanam bahkan masyarakat baduy luar tidak lagi menutup diri, mereka sudah dapat berbaur dengan masyarakat luar.
Suku baduy merupakan bagian dari suku bangsa di Indonesia yang menjadi bukti bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya yang harus dibanggakan dan menghargai keberadaaan mereka karena bagaimanapun juga mereka adalah warga negara Indonesia yang masih memegang teguh kepercayaan kabuyutan atau amanat dari nenek moyang.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Banten#Sejarah
http://bagaskorotrihatmojo.blogspot.com/
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Kanekes#Kepercayaan
http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com/2012/06/suku-baduy-di-provinsi-banten.html
http://www.explore-indo.com/budaya/166-menelusuri-kebudayaan-baduy-sebuah-kepatuhan-mutlak.html
http://www.swaberita.com/2008/05/29/nusantara/suku-baduy-di-pedalaman-banten.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar