Senin, 18 Januari 2016

Tugas Ilmu Sosial Dasar VIII : Agama dan Masyarakat

BAB 9 : AGAMA DAN MASYARAKAT


AGAMA DAN MASYARAKAT
   Kaitan agama dengan masyarakt banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya para tasauf. Membicarakan peranan agama dalam kehidupan sosial menyangkut dua hal yang sudah tentu hubungannya erat, memiliki aspek-aspek yang terpelihara. Yaitu pengaruh cita-cita agama dan etika agama dalam kehidupan individu dari kelas sosial dan grup sosial, perseorangan dan kolektivitas, dan mencakup kebiasaan dan cara semua unsur asing agama diwarnainya. Yang lainnya juga menyangkut organisasi dan fungsi dari lembaga agama sehingga agama dan masyarakat itu berwujud kolektivitas ekspresi nilai-nilai kemanusiaan, yang mempunyai seperangkat arti mencakup perilaku sebagai pegangan individu dengan kepercayaan dan taat kepada agamanya.

1.    Fungsi Agama
Untuk mendiskusikan fungsi agama dalam masyarakat ada tiga aspek penting yang selalu dipelajari, yaitu kebudayaan, sistem sosial, dan kepribadian. Ketiga aspek tersebut merupakan kompleks fenomena sosial terpadu yang pengaruhnya dapat diamati dalam perilaku manusia, sehingga timbul pertanyaan, sejauh mana fungsi lembaga agama memelihara sistem, apakah lembaga agama terhadap kebudayaan sebagai suatu sistem, dan sejauh manakah agama dalam mempertahankan keseimbangan pribadi melakukan fungsinya. Pertanyaan itu timbul sebab, sejak dulu sampai saat ini, agama itu masih ada dan mempunyai fungsi, bahkan memerankan sejumlah fungsi. Fungi agama dalam pengukuhan nilai-nilai, bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan dengan sanksi-sanksi sakral. Fungsi agama di bidang sosial adalah fungsi penentu, dimana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka.
Masalah fungsionalisme agama dapat dianalisis lebih mudah pada komitmen agama. Dimensi komitmen agama, menuntut Roland Robertson, diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan konsekuensi.

a.     Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.

b.     Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata.

c.     Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar teligius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan, meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.

d.     Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.

e.     Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.

2.    Masyarakat-masyarakat Industri Sekular
Masyarakat industri bercirikan dinamika dan semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian-penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian-penyesuaian dalam hubungan-hubungan kemanusiaan sendiri. Pada umumnya kecenderungan sekularisaasi mempersempit ruang gerak kepercayaan-kepercayaan dan pengalaman-pengalaman keaganaan yang terbatas pada aspek yang lebih kecil dan bersifat khusus dalam kehidupan masyarakat dan anggota-anggotanya. Pernyataan diatas menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat sekular akan mampu secara efektif mempertahankan ketertiban umum tanpa kekerasanintitusional apabila pengaruh agama telag semakin berkurang. Barangkali agama akan bereaksi terhadap intitusionalisme, impersonalitas, dan birokrasi masyarakat modern yang semakin bertambah. Akan tetapi bukan agama yang menerima nilai-nilai intitusionalisme baru, melainkan agama yang bersifat aliran-aliran.

3.    Pelembagaan Agama
Agama begitu universal, permanen, dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama, akan sukar memahami masyarakat. Hal yang perlu dijawab dalam memahami lembaga agama adalah, apa dan mengapa agama ada, unsur-unsur dan bentuknya serta fungsi dan struktur agama. Dimensi keyakinan, praktek, pengalaman, dan pengetahuan dapat diterima sebagai dalil atau dasar analitis, namun hubungan-hubungan antara keempatnya tidak dapat diungkapkan tanpa data empiris. Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara utuh.
a.     Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral
Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakatnya menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya:

(1) Agama memasukan pengaruhnya yang sakral kedalam sistem nilai masyarakat secara mutlak.

(2) Dalam keadaan lembaga lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan. Dalam hal ini nilai-nilai agama sering meningkatkan konservatisme dan menghalangi perubahan.

b.     Masyarakat-masyarakat praindustri yang sedang berkembang.
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama.

         Kebiasaan pandangan emosional ini akibat agama dengan segala sifatnya melibatkan nilai-nilai dasar yang menyebabkan agama itu hampir tidak mungkin dipandang dengan sikap yang netral.

Pendekatan rasional tehadap agama dengan penjelasan ilmiah biasanya akan mengacu dan berpedoman pada tingkah laku yang sifatnya ekonomi dan teknologis dan tentu kurang baik. Karena dalam tingkah laku unsur rasional akan lebih banyak, dan bila dikaitkan dengan agama yang melibatkan unsur-unsur pengetahuan diluar jangkauan manusia, seperangkat simbol dan keyakinan yang kuat, hal ini nampaknya keliru. Dari contoh sosial, lembaga keagamaan berkembang seagai pola ibadah, pola ide-ide, ketentuan, dan tampil sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Pelembagaan agama puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan, dan tingkat organisasi. Tampilnya organisasi agama adalah akibat adanya “perubahan batin” atau kedalaman beragama, mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan, dan sebagainya. Agama menuju ke pengkhususan fungsional. Pengaitan agama tersebut mengambil bentuk dalam berbagai corak organisasi keagamaan.

Tugas Ilmu Sosial Dasar IX : Prasangka, Diskriminasi & Etnosentrisme


BAB 10 : PRASANGKA, DISKRIMINASI & ETNOSENTRISME



1.        PERBEDAAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI
Sikap yang negatif terhadap sesuatu, disebut prasangka. Walaupun dapat kita garis bawahi bahwa prasangka dapat juga dalam pegertian positif. Tidak sedikit orang-orang yang mudah berprasangka, namun banyak juga orang-orang yang lebih sukar untuk berprasangka.
Namun demikian belum jelas benar ciri-ciri kepribadian mana yang membuat seseorang mudah berprasangka. Sementara pendapat menyebutkan bahwa orang yang berintelekgensi tinggi, lebih sukar untuk bersikap berprasangka. Mengapa? Karena orang-orang macam ini bersifat dan bersiap kritis.
Dalam kondisi persaingan untuk mencapai akumulasi materil tertentu, atau untuk meraih status sosial bagi suatu individu atau kelompok sosial tertentu, pada suatu lingkungan/wilayah di mana norma-norma dan tata hukum dalam kondisi goyah, dapat merangsang munculnya prasangka dan diskriminasi dapat dibedakan dengan jelas. Prasangka bersumber dari suatu sikap. Diskriminasi menunjuk kepada suatu tindakan.
Seseorang yang mempunyai prasangka rasial. Biasanya bertindak diskriminasi terhadap ras yang diprasangkainya. Walaupun begitu , biasa saja seseorang bertindak diskriminatif tanpa berlatar belakang pada suatu prasangka.
Sikap berprasangka jelas tidak adil, sebab sikap yang diambil hanya berdasarkan pada pengalaman atau apa yang didengar. Lebih-lebih lagi bila sikap berprasangka itu muncul dari jalan pikiran sepintas, untuk kemudian disimpulkan dan dibuat pukul rata sebagai sifat dari seluruh anggota kelompok sosial tertentu. Apabila muncul suatu sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau terhadap suatu suku bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan-pertentangan  sosial yang lebih luas.

1.1     SEBAB-SEBAB TIMBULNYA PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

(a)      Berlatar Belakang Sejarah
Orang kulit putih di Amerika Serikat berprasangka negatif  terhadap orang negro. Orang kulit putih beranggapan bahwa orang negro adalah budak dan orang berkulit putih adalah Tuan rajanya.

(b)      Dilatar Belakangi Oleh Perkembangan Sosio – Kultural Dan Situasional
Suatu prasangka muncul dan berkembang dari suatu individu terhadap individu lain, atau terhadap kelompok sosial tertentu manakala terjadi penurunan status atau terjadi pemutusan hubungan kerja.

(c)       Bersumber Dari Faktor Kepribadian
Keadaan frustasi dari orang ataupun kelompok sosial tertentu dapat menimbulkan tingkah laku yang cukup agresif. Tipe prasangka lebih dominan disebabkan karena sikap orang itu sendiri. Tipe authoritarian personality adalah sebagai ciri kepribadian seseorang yang penuh prasangka, dengan ciri-ciri bersifat konservatif dan bersifat tertutup.

(d)      Berlatar Belakang Dari Perbedaan Keyakinan, Kepercayaan Dan Agama
Bisa ditambah lagi dengan perbedaan pandangan polotik, ekonomi dan ideologi. Prasangka yang berakar dari hal-hal tersebut di atas dapat dikatakan sebagai suatu prasangka yang bersifat universal.

1.2 DAYA UPAYA UNTUK MENGURANGI/MENGHILANGKAN PRASANGKA DAN DISKRIMINASI

a.       Perbaikan kondisi sosial ekonomi
Pemerataan pembangunan dan usaha peningkatan pendapat bagi warga negara indonesia yang masih tergolong di bawah garis kemiskinan akan mengurangi adanya kesenjangan-kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin.

b.      Perluasan kesempatan belajar
Adanya usaha-usaha pemerintah dalam perluasan kesempatan belajar bagi seluruh warga negara indonesia, paling tidak dapat mengurangi prasangka bahwa program pendidikan, terutama pendidikan tinggi hanya dapat dinikmati oleh kalangan masyarakat menengah dan kalangan atas. Mengapa? Untuk mencapai jenjang pendidikan tertentu di perguruan tinggi memang mahal, disaping itu harus memiliki kemampuan otak dan modal.

c.       Sikap terbuka dan sikap lapang
Harus selalu kita sadari bahwa berbagi tantangan yang datang dari luar ataupun yang datang dari dalam negri, semuanya akan dapat merongrong keutuhan negara dan bangsa. Kebhinekaan masyarakat berikut sejumlah niali yang melekat, merupakan basis empuk bagi timbulnya prasangka, diskriminasi, dan keresahan.

2.       Etnosentrisme
Etnosentrisme yaitu suatu kecenderungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagaai sesuatu yang prima, terbaik, mutlak dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecenderungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolok ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.

Sumber : tugaskolak.blogspot.co.id/2016/01/prasangka-diskriminasi-dan-etnosentrisme.html